
FPI–DKI.com – Jakarta, Sumanto Qurtubi dalam buku sesatnya
"Lubang Hitam Agama" menyatakan bahwa "Agama" adalah
pembunuh kreativitas dan pemasung intelektual yang mematikan akal dan nalar.
Pernyataan tersebut merupakan jenis penyakit "keterbelakangan intelektual"
yang sudah sangat kronis.
Sebagaimana sudah saya tuturkan
pada tulisan sebelumnya bahwa kaum Liberal sangat mengandalkan akal, bahkan
cenderung mempertuhankan akal, sehingga semua aturan Aqidah, Syariat dan Akhlaq
ditimbang dengan neraca akal. Dengan berdalih ayat dan hadits tentang
keistimewaan akal, mereka paksa Aqidah, Syariat dan Akhlaq untuk tunduk kepada
akal. Itulah karenanya, kaum Liberal akan menentang ayat dan menolak hadits
serta mengabaikan agama jika mereka nilai bertentangan dengan akal.
Benarkah dengan sikap demikian
itu berarti kaum Liberal telah memuliakan akal, atau sebaliknya?. Insya Allah,
tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut. Dalam rangka untuk mendapatkan
jawaban yang komprehensif, maka terlebih dahulu harus dipaparkan tentang
hubungan antara Iman, Akal dan Ilmu. Dan akan kita awali dengan fakta sejarah
tentang Dialog Dua Imam.
Dialog Dua Imam
Asy-Syeikh Muhammad Abu Zahrah
rhm menukilkan sebuah sejarah menarik dalam kitabnya yang berjudul
"Al-Imam Ash-Shodiq" : Bahwa Imam Ja'far Ash-Shodiq RA (80-148 H)
bersahabat baik dengan Imam Abu Hanifah RA (80-150 H), bahkan Imam Abu Hanifah
RA banyak menyampaikan riwayat yang bersumber dari dari Imam Ja'far Ash-Shodiq
RA. Suatu ketika ayahanda Imam Ja'far AsShodiq RA, yaitu Imam Muhammad Al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin As-Sajjad bin Sayyiduna Husein, rodhiyallaahu 'anhum,
melakukan "Tabayyun" kepada Imam Abu Hanifah RA tentang
"issue" yang menuduh Imam Abu Hanifah RA lebih mendahulukan
"dalil akal" daripada "dalil syar'i". Dalam suatu
pertemuan, berkatalah Imam Muhammad Al-Baqir RA kepada Imam Abu Hanifah RA :
"Benarkah anda orang yang merubah agama Datukku dan hadits-haditsnya
kepada Al-Qiyas ?" Imam Abu Hanifah RA menjawab : "Duduklah di
tempatmu yang sepatutnya bagiku, karena sesungguhnya bagimu di sisiku
kehormatan seperti kehormatan Datukmu SAW semasa hidupnya di tengah para
Shahabatnya."
Imam Muhammad Al-Baqir RA pun
duduk, lalu Imam Abu Hanifah RA duduk di hadapannya sambil berkata :
"Sesungguhnya aku ingin mengajukan tiga perkara, maka jawablah untukku :
Pria lebih lemah atau Wanita ?" Imam Muhammad Al-Baqir RA menjawab :
"Wanita lebih lemah." Imam Abu Hanifah RA bertanya lagi :
"Berapa bagian wanita dalam warisan ?" Imam Muhammad Al-Baqir RA
menjawab : "Untuk pria dua bagian dan untuk wanita satu bagian."
Berkatalah Imam Abu Hanifah RA : "Inilah ilmu Datukmu ! Andaikata aku
merubah agama Datukmu, sepatutnya dalam Al-Qiyas untuk pria satu bagian dan
untuk wanita dua bagian, karena wanita lebih lemah daripada pria."
Kemudian, Imam Abu Hanifah RA
mengajukan perkara kedua, ia bertanya : "Shalat lebih baik atau puasa
?" Imam Muhammad Al-Baqir RA menjawab : "Shalat lebih baik."
Imam Abu Hanifah RA berkata : "Inilah sabda Datukmu ! Andaikata aku
merubah sabda Datukmu, niscaya sesungguhnya wanita jika suci dari haidhnya,
maka aku perintahkan dia untuk mengqodho shalat dan tidak perlu mengqodho
puasa."
Lalu, Imam Abu Hanifah RA
melontarkan perkara ketiga, ia bertanya lagi : "Air seni lebih najis atau
air mani ?" Imam Muhammad Al-Baqir RA menjawab : "Air seni lebih
najis." Imam Abu Hanifah RA berkata : "Andaikata aku merubah agama
Datukmu dengan Al-Qiyas, niscaya aku perintahkan untuk mandi karena
mengeluarkan air seni dan cukup berwudhu karena mengeluarkan air mani. Akan
tetapi aku berlindung kepada Allah daripada perbuatan merubah agama Datukmu
dengan Al-Qiyas." Setelah itu, Imam Muhammad Al-Baqir RA langsung berdiri
dan memeluk Imam Abu Hanifah RA serta mencium wajahnya.
Selanjutnya Syeikh Abu Zahra rhm
menyatakan bahwa dari fakta sejarah di atas, terlihat jelas kepemimpinan Imam
Muhammad Al-Baqir RA di tengah para Ulama. Beliau pimpinan para Ulama yang
selalu mengawasi, memanggil, menghadirkan, memeriksa dan mengoreksi para Ulama
di zaman itu. Dan para Ulama sekelas Imam Abu Hanifah RA mengakui kepemimpinan
tersebut dan mentaatinya.
Dalam kitab tersebut, penulis
juga menyebutkan ada cerita serupa versi kalangan Syi'ah yang menyebutkan bahwa
Dialog tersebut terjadi antara Imam Ja'far Ash-Shodiq RA dengan Imam Abu
Hanifah RA, dan justru Imam Ja'far Ash-Shodiq RA yang mengajukan aneka
pernyataan tentang warisan, wanita haidh dan air seni di atas, dalam rangka mengkritisi
sikap Imam Abu Hanifah RA yang banyak menggunakan Al-Qiyas. Namun, Syeikh
Muhammad Abu Zahrah rhm mentarjih riwayat pertama tadi. Terlepas dari riwayat
mana yang "rajih", yang jelas dalam kisah di atas ada pelajaran
penting tentang kewaspadaan dalam penggunaan "Akal" atau "Dalil
Aqli".
Iman, Akal dan Ilmu
Dari kisah di atas, kita mendapat
pelajaran yang sangat berharga tentang Iman, Akal dan Ilmu. Setiap muslim
semestinya menerima semua aturan agama Islam baik terkait Aqidah, Syariat mau
pun Akhlaq dengan iman terlebih dahulu, lalu tanyakan dengan akal tentang
kenapa begini dan kenapa begitu, kemudian jawablah dengan ilmu.
Itulah karenanya, Ahlus Sunnah
wal Jama'ah menetapkan kaidah bahwasanya : Wajib mendahulukan Dalil Naqli
daripada Dalil Aqli. Artinya, apa yang sudah ditetapkan Dalil Naqli dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah mau pun Al-Ijma' terima dulu dengan "Iman".
Jangan ditimbang dengan "Neraca Akal" dulu. Setelah diterima dan
diyakini sebagai ajaran Islam berdasarkan Dalil Naqli yang shahih, maka silakan
"Akal" menggali tentang apa dan kenapanya untuk menggali hikmah.
Lalu, jawablah dengan "Ilmu" yang lurus lagi benar.
Berbahaya sekali, jika kita
mengedepankan "Akal" daripada "Iman", karena berapa banyak
persoalan agama yang sulit dirasionalisasikan. Akal memang istimewa, tapi kita
wajib menggunakannya secara benar, bukan dibiarkan berpikir liar. Sayyiduna Ali
bin Abi Thalib RA pernah mengatakan : "Andaikata ajaran agama itu diambil
dari logika niscaya bagian bawah Khuff lebih utama untuk diusap daripada bagian
atasnya."
Warisan Anak Laki-Laki dan
Perempuan
Dalam dialog antara Imam Muhammad
Al-Baqir RA dan Imam Abu Hanifah RA, disinggung tentang masalah bagian waris
anak laki dan perempuan. Allah SWT berfirman dalam QS.4.An-Nisaa' ayat 11 :
"Yuushiikumullaahu Fii Aulaadikum Lidz Dzakari Mitslu Hazhzhil
Untsayain" artinya "Allah mewasiatkan (mensyariatkan) bagimu tentang
(warisan) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan."
Fakta menunjukkan bahwasanya
perempuan lebih lemah daripada laki-laki, sebagaimana disepakati oleh kedua
Imam tersebut dalam dialog mereka. Menurut "Akal" semestinya bahagian
warisan anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki, karena anak
perempuan yang lebih lemah tentunya lebih membutuhkan bahagian yang lebih
banyak ketimbang anak laki-laki yang jauh lebih kuat. Masih menurut
"Akal", setidaknya bahagian warisan anak perempuan mesti sama dengan
bahagian anak laki-laki, agar tercipta keadilan. Akan tetapi, Dalil Naqli menentukan
tidak demikian, melainkan bahagian warisan anak laki-laki dan perempuan adalah
dua banding satu ( 2 : 1 ). Apakah dengan demikian aturan Syariat tentang
warisan tidak sejalan dengan "Akal" ?!
Sesuai prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, kita wajib mengedepankan Dalil Naqli daripada Dalil Aqli. Artinya,
aturan Syariat tentang warisan tersebut terima dulu dengan iman, yaitu
yakinilah sebagai aturan Allah Yang Maha Adil. Lalu, silakan "Akal"
menggali tentang kenapa harus begitu aturannya ?! Kenapa tidak seperti yang
dipahami "Akal" tadi ?! Maka jawablah dengan "Ilmu" yang
benar, yaitu bahwasanya ajaran Islam tidak boleh dipahami secara
sepotong-sepotong, tapi harus menyeluruh.
Dalam ajaran Islam,
tanggung-jawab seorang anak laki-laki dalam keluarga sangat besar. Sepeninggal
ayahnya, maka anak laki-lakilah yang harus bertanggung-jawab terhadap ibu dan
saudara perempuannya, termasuk soal nafkah. Jadi, dengan bahagian warisannya,
si anak laki-laki harus menggunakan sepenuhnya untuk melindungi dan menafkahi
keluarga tersebut, sedang si anak perempuan dengan bahagian warisan yang
didapatnya tidak ada kewajiban untuk menanggung ibu dan saudara laki-lakinya.
Secara hitungan matematis maka
bahagian warisan si anak laki-laki dalam waktu tertentu akan habis digunakan
untuk kepentingan keluarga, sedang bahagian warisan si anak perempuan akan
tetap tidak berkurang. Jadi, pada hakikatnya sebenarnya bahagian warisan anak
perempuan jauh lebih besar daripada bahagian warisan anak laki-laki, karena
bahagian anak laki-laki harus dibelanjakan untuk keluarga sedang bahagian anak
perempuan tidak. Karenanya, setelah aturan Syariat tersebut diurai dengan
"Ilmu" yang benar, ternyata
sejalan dengan "Akal" sehat.
Dengan demikian, justru Islam
telah sangat memperhatikan anak perempuan lebih daripada anak laki-laki dalam
soal warisan, yaitu melalui penyesuaian dengan pembagian tanggung-jawab. Itu
soal warisan, lain lahi soal pemberian, dalam sebuh hadits yang diriwayatkan
Imam Thabrani rhm dan Imam Al-Baihaqi rhm bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
"Samakanlah di antara anak-anakmu dalam pemberian. Andaikata aku
melebihkan bagian sesorang (dari anak-anakku), niscaya aku lebihkan bahagian
anak perempuan." Jadi, jika mau bagi lebih untuk anak perempuan, bagilah
semasa si ayah masih hidup sebagai pemberian, sedang ketika si ayah wafat maka
Allah SWT telah mengatur pembagian warisan dalam Kitab Sucinya.
Qodho Shalat dan Puasa
Dalam dialog antara Imam Muhammad
Al-Baqir RA dan Imam Abu Hanifah RA, disinggung juga tentang masalah wanita
yang suci dari haidhnya wajib mengqodho puasa tapi tidak perlu mengqodho
shalat. Dalam sebuah riwayat shahih, Sayyidah Aisyah RA menyatakan bahwa di
zaman Nabi SAW para perempuan yang suci dari haidhnya diperintahkan untuk
mengqodho puasa dan tidak diperintahkan mengqodho shalat.
Fakta menunjukkan bahwasanya
shalat lebih baik dan lebih wajib serta lebih tinggi kedudukannya daripada
puasa, sebagaimana disepakati oleh kedua Imam tersebut dalam dialog mereka.
Menurut "Akal" semestinya jika shalat saja yang lebih wajib tidak
perlu diqodho, apalagi puasa seharusnya lebih tidak perlu diqodho. Maka
kesimpulan hukumnya berdasarkan "Akal" semata, perempuan yang suci
dari haidh tidak perlu mengqodho puasa yang ditinggalkannya karena haidh.
Masih menurut "Akal"
bisa juga sebaliknya, yaitu jika puasa saja yang tidak lebih wajib daripada
shalat harus diqodho, apalagi shalat seharusnya lebih wajib diqodho. Maka
kesimpulan hukumnya berdasarkan "Akal" semata, perempuan yang suci
dari hadih wajib mengqodho shalat yang ditinggalkannya karena haidh. Dua metode
berpikir yang digunakan "Akal" tidak sejalan dengan aturan syariat
yang mewajibkan perempuan yang suci dari haidh untuk mengqodho puasa tapi tidak
perlu mengqodho shalat.
Sesuai prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, kita wajib mengedepankan Dalil Naqli daripada Dalil Aqli. Artinya,
aturan Syariat tentang shalat dan puasa bagi wanita haidh tersebut terima dulu
dengan iman, yaitu yakinilah sebagai aturan Allah Yang Maha Adil. Lalu, silakan
"Akal" menggali tentang kenapa harus aturan Syariatnya seperti itu ?!
Kenapa tidak seperti yang dipahami "Akal" dengan dua cara berpikirnya
tadi ?! Maka jawablah dengan "Ilmu" yang benar.
Puasa dalam setahun hanya sekali,
yaitu sebulan Ramadhan, sehingga jika perempuan yang suci dari haidh harus
mengqodho puasa Ramadhan yang ditinggalkannya karena haidh, maka "tidak
menyulitkan". Mengqodho beberapa hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan
karena haidh, bisa dilakukan kapan saja sepanjang tahun, itu pun boleh dicicil
sehari-sehari selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. Bahkan jika luput
hingga Ramadhan berikutnya, maka jumlah utang hari puasanya tidak bertambah,
hanya ditambah fidyah dalam madzhab Syafi'i.
Sedang shalat sehari semalam ada
lima waktu, jika harus diqodho maka setiap bulannya si perempuan harus
mengqodho shalat sekian puluh kali sesuai jumlah hari haidhnya. Tentu itu akan
menyulitkan kaum wanita. Padahal, mengurus diri dalam melalui masa haidh setiap
bulannya sudah merupakan beban bagi wanita, apa harus ditambah beban lagi
dengan mengqodho shalatnya ?!
Dengan demikian, jelaslah kenapa
para wanita yang suci dari haidh hanya diwajibkan qodho puasa tanpa qodho
shalat ? Jawabnya, sebagai rahmat dari Allah SWT bagi kaum wanita, agar mereka
tidak terbebankan dengan beban yang terlalu berat. Betapa adilnya Allah SWT dan
betapa indah syariat-Nya. Karenanya, setelah aturan Syariat tersebut diurai
dengan "Ilmu" yang benar, ternyata
sejalan dengan "Akal" sehat.
Air Mani dan Air Seni
Dalam dialog antara Imam Muhammad
Al-Baqir RA dan Imam Abu Hanifah RA, disinggung juga tentang masalah air mani
dan air seni. Orang yang mengeluarkan air mani diwajibkan mandi untuk
mengangkat hadats besarnya, sedang yang mengeluarkan air seni tidak wajib mandi
tapi cukup berwudhu untuk mengangkat hadats kecilnya. Demikianlah diatur oleh
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Fakta menunjukkan bahwasanya air
seni lebih najis daripada air mani, sebagaimana disepakati oleh kedua Imam
tersebut dalam dialog mereka. Bahkan dalam madzhab Syafi'i, air mani itu suci
tidak najis. Menurut "Akal" semestinya jika mengeluarkan air seni
saja yang najis tidak wajib mandi, apalagi mengeluarkan air mani yang suci
lebih tidak wajib mandi. Maka kesimpulan hukumnya berdasarkan "Akal"
semata, orang yang hadats besar karena mengeluarkan mani tidak wajib mandi.
Masih menurut "Akal"
bisa juga sebaliknya, yaitu jika mengeluarkan air mani saja yang suci wajib
mandi, apalagi mengeluarkan air seni yang najis lebih wajib mandi. Maka
kesimpulan hukumnya berdasarkan "Akal" semata, orang yang hadats
kecil karena mengeluarkan air seni wajib mandi untuk mengangkat hadatsnya
tersebut.
Sesuai prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, kita wajib mengedepankan Dalil Naqli daripada Dalil Aqli. Artinya,
aturan Syariat tentang air mani dan air seni tersebut terima dulu dengan iman,
yaitu yakinilah sebagai aturan Allah Yang Maha Adil. Lalu, silakan
"Akal" menggali tentang kenapa harus aturan Syariatnya macam itu ?!
Kenapa tidak seperti yang dipahami "Akal" dengan dua pola pikirnya
tadi ?! Maka jawablah dengan "Ilmu" yang benar.
Seseorang mengeluarkan air seni
dalam sehari semalam bisa berulang-kali, sehingga jika diwajibkan mandi maka
akan sangat menyulitkan kehidupan manusia. Sedang mengeluarkan mani tidak sesering
mengeluarkan air seni, sehingga jika diwajibkan mandi maka tidak akan
menyulitkan kehidupan manusia.
Selain itu, orang yang
mengeluarkan air seni tidak akan menguras tenanganya, bahkan setelah buang air
kecil akan terasa lega dan nyaman, sehingga tidak perlu mandi untuk memulihkan
tenaga, tapi cukup istinja untuk kebersihan dan wudhu saja untuk mengangkat
hadats kecilnya. Sedangkan orang yang mengeluarkan air mani pasti akan menguras
tenaganya, sehingga untuk memulihkan tenaga dan menyegarkan badannya dibutuhkan
mandi, sekaligus untuk mengangkat hadats besarnya.
Pantas, orang yang mengeluarkan
air seni yang najis tidak wajib mandi, sedang orang yang mengeluarkan air mani
yang suci justru wajib mandi. Dengan demikian, jelaslah betapa adilnya Allah
SWT dan betapa indah syariat-Nya. Karenanya, setelah aturan Syariat tersebut
diurai dengan "Ilmu" yang benar,
ternyata sejalan dengan "Akal" sehat.
Metode Penggunaan Akal
Dengan uraian di atas, menjadi
jelas bahwasanya menggunakan "Akal" tidak boleh sembarangan, tapi
harus dengan metode yang benar. Tanpa metode yang benar, maka "Akal"
akan berpikir jalang dan liar. Barangsiapa menggunakan "Akal" tanpa
metode yang benar berarti ia sedang melecehkan akal dan daya pikirnya sendiri,
bahkan sedang memperkosa akalnya sekaligus membunuh nalarnya. Karenanya, Dalam
menggunakan "Akal" ada sejumlah syarat yang wajib diperhatikan.
Pertama, tancapkan keyakinan
bahwa apa yang datang dari Allah SWT dan Rasulullah SAW pasti benar. Ini yang
pertama dan paling utama, karena tanpa ini "Akal" mau pun
"Ilmu" tidak akan mendapat jalan yang selamat.
Kedua, tancapkan keyakinan bahwa
"Akal" manusia yang sempit dengan "Ilmu" yang sedikit
mustahil mampu mengarungi samudera ilmu pengetahuan Allah Yang Maha Luas tanpa
batas. Sebagaimana Allah SWT telah menegaskan dalam QS.17.Al-Israa' ayat 85
bahwasanya manusia tidaklah diberikan ilmu pengetahuan kecuali sedikit".
Dan dalam QS.2.Al-Baqarah ayat 115, Allah SWT menegaskan tentang keluasan
rahmat dan ilmu pengetahun-Nya.
Ketiga, tancapkan keyakinan bahwa
semua ketetapan hukum Allah SWT yang "Muhkamat" baik yang tertuang
dalam Al-Qur'an mau pun Sunnah Nabi-Nya pasti bisa diurai dengan
"Akal" dan "Ilmu", dalam arti kata tidak ada yang tidak
masuk di akal dan tidak ada yang bertentangan dengan ilmu, karena ajaran agama
ini untuk orang yang berakal dan selalu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Ada pun
tentang yang "Mutasyabihat" sebagian Ulama berpendapat hanya Allah
SWT yang mengetahuinya, sedang sebagian Ulama yang lain meyakini bahwa orang
yang kuat akal dan cemerlang ilmunya diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk
memahaminya. Tentang "Muhkamat" dan "Mutasyabihat",
tertuang dalam firman Allah SWT pada QS.3. Aali 'Imraan : 7.
Keempat, selalu gunakan prinsip
"Wajib mengedepankan Dalil Naqli daripada Dalil Aqli", sebagaimana
telah ditetapkan sebagai kaidah yang muqorror oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dengan demikian, maka "Aqli" harus ikut "Naqli", tidak
sebaliknya, sehingga "Akal" akan selalu menjadi pembela Aqidah,
Syariat dan Akhlaq, bukan menjadi musuhnya.
Dan kelima, gunakan "Akal
Sehat" dengan "Ilmu Benar" atas dasar "Iman Kuat"
untuk menggali rahasia ajaran agama Islam yang kamil (sempurna) dan syamil
(menyeluruh). Dengan demikian, Iman, Akal dan Ilmu selalu seiring sejalan untuk
mencari ridho Allah SWT.
Liberal dan Akal
Setelah uraian di atas, kini kita
lihat : Adakah kaum Liberal yang selama ini selalu menggaungkan tentang
keistimewaan akal sudah memuliakan akal ?!
Sudahkah kaum Liberal menggunakan akal dengan metode yang semestinya
?! Bagaimana cara kaum Liberal menempatkan
posisi Iman, Akal dan Ilmu ?!
Andaikan kaum Liberal sudah
menggunakan akal sebagaimana mestinya sesuai dengan metode yang benar, maka
seharusnya kaum Liberal tidak menentang hukum Allah SWT dan tidak pula
menantang hukum Rasulullah SAW. Andaikan kaum Liberal sudah menempatkan posisi
Iman, Akal dan Ilmu secara tepat, maka semestinya Akal dan Ilmu mereka tidak
melawan Iman.
Tingkah laku Liberal yang suka
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, serta melegalisasi aneka kesesatan dan kema'siatan,
sudah lebih dari cukup menjadi bukti bahwa kaum Liberal tidak menggunakan akal
sebagaimana mestinya. Semua itu sudah menjelaskan bahwasanya kaum Liberal dalam
penggunaan akal tidak tunduk kepada metode yang benar.
Dengan demikian, kaum Liberal
tidak pernah memuliakan akal sebagaimana mestinya. Justru, kaum Liberal telah melecehkan
akal, bahkan memperkosa akal dan membunuh nalarnya sendiri. Sungguh buruk dan
busuk serta terkutuk kaum Liberal yang telah merusak kemuliaan akal dan
kehormatan nalar yang dikaruniakan Allah SWT.
Semoga Allah SWT selalu
melindungi kaum muslimin kapan saja dan dimana saja dari kejahatan kaum
Liberal. Aamiiin....!
Penulis: Habib Muhammad Rizieq
Syihab, MA
Sumber : Suara-Islam.com
Tambahkan Komentar:
0 komentar, tambahkan komentar Anda